Mengenal Budaya Subasita dalam Interaksi Sosial di Jawa

Apa Itu Subasita/Subosito?

Subasita/Subosito: Arti Kata dalam Kamus Basa Jawa yang Menunjukkan Sopan Santun. Dalam Kamus Basa Jawa, kita akan membahas arti kata Subasita yang merujuk kepada sopan santun. Subasita adalah kata yang berasal dari bahasa Jawa dan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memiliki arti sopan santun.

Arti Kata Subasita dalam Kamus Basa Jawa

Arti kata Subasita umumnya digunakan dalam kalimat bahasa Jawa yang mengandung makna sopan santun. Sopan santun dalam konteks ini mengacu pada penghormatan terhadap orang yang lebih tua, baik itu dalam hal usia, pangkat, maupun jabatan. Dalam percakapan atau dialog menggunakan bahasa Jawa, penggunaan Subasita ditandai dengan berbicara kepada orang yang lebih tua dengan menggunakan ragam bahasa Jawa krama atau krama alus (Krama Inggil).

Mengenal Budaya Subasita dalam Interaksi Sosial di Jawa


Tata Krama Sebagai Perilaku yang Berbudaya

Budaya Nusantara memiliki perhatian yang besar terhadap akhlak dalam hubungan antar manusia di Indonesia. Akhlak manusia sangat terkait dengan sikap, perilaku, dan bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial dan berbudaya, manusia seharusnya memiliki norma-norma sebagai panduan dalam berinteraksi dengan sesama.

Budaya Jawa mengenal istilah "tata krama" yang secara harfiah berarti aturan dalam hubungan. Istilah lain yang memiliki arti yang sama adalah "subasita". Menurut kamus Baoesastra Djawa yang ditulis oleh Poerwadarminta dkk. (Poerwadarminta et al., 1939: 569), subasita mengacu pada tata krama dalam berinteraksi dengan sesama.

Masyarakat Jawa sangat menghargai subasita, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai yang tinggi terhadap sopan santun. Masyarakat Jawa selalu menyampaikan segala hal dengan cara yang tertutup, halus, dan bermakna, yang dikenal dengan istilah "pasemon" dalam budaya Jawa. Tujuan dari penggunaan pasemon adalah agar lawan bicara tidak tersinggung oleh komentar atau kritik yang disampaikan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku bahasa masyarakat Jawa cenderung lembut dan halus. Oleh karena itu, dalam bahasa Jawa terdapat ragam krama alus dan ngoko (kasar) sebagai praktik budaya subasita (Endraswara, 2012: 167).


Fenomena Budaya dalam Praktik Tata Krama

Salah satu praktik subasita yang penting adalah penggunaan unggah-ungguh basa. Menurut kamus Baoesastra Djawa, unggah-ungguh basa adalah kaidah bahasa berdasarkan kedudukannya (Poerwadarminta et al., 1939: 443). Dalam masyarakat Jawa, kedudukan sosial menjadi hal penting yang menjadi dasar pemilihan ragam bahasa yang digunakan dalam berinteraksi. Penggunaan leksikon krama inggil terhadap orang yang lebih tua atau orang yang dihormati adalah contoh penerapan unggah-ungguh dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Namun, saat ini, unggah-ungguh bukan lagi menjadi hal utama bagi sebagian remaja, bahkan banyak remaja yang tidak mengetahui tentang unggah-ungguh basa. Ada banyak faktor yang menyebabkan kurangnya pengetahuan remaja tentang budaya unggah-ungguh, salah satunya adalah faktor keluarga. Jika keluarga tidak menerapkan unggah-ungguh dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak akan kehilangan pemahaman tentang tata krama dan prinsip kesopanan sesuai dengan adat dan budaya Jawa (Effendi, 2015: 38; Ratnasari & Jadmiko, 2018: 159).

Selain itu, perubahan zaman yang tak dapat dihindari telah menggeser nilai-nilai unggah-ungguh dalam budaya Jawa. Hal ini terlihat dari cara generasi muda Jawa saat ini berbicara. Anak muda zaman sekarang kurang produktif dalam menggunakan bahasa Jawa, terutama dalam penggunaan ragam krama (Hayati, 2020). Kesalahan penggunaan ragam krama alus oleh generasi muda ini telah dibuktikan dalam penelitian oleh Wibawa (2005: 153) dan Setyawan (2019: 153). Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa generasi muda mulai dari tingkat sekolah menengah hingga mahasiswa kurang mampu menerapkan unggah-ungguh basa, terutama dalam penggunaan ragam krama alus.

Kesalahan penggunaan ragam krama alus oleh generasi muda zaman sekarang menunjukkan bahwa pemerolehan leksikon krama inggil belum cukup baik. Hal ini terlihat dari keterbatasan penggunaan leksikon krama inggil terhadap orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang dihormati. Fenomena ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang tingkat tutur bahasa Jawa, seperti yang telah diteliti oleh Romelah (Romelah, 2016: 274).

Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa leksikon krama inggil yang sering muncul dalam percakapan sehari-hari, misalnya, adalah "njenengan" yang berarti "Anda" dan "dhahar" yang berarti "makan". Bahkan sebagian anak muda dengan kelas sosial yang tinggi jarang menggunakan bahasa Jawa dalam berinteraksi dengan orang lain, melainkan menggunakan bahasa Indonesia. Perbedaan penggunaan bahasa ini tercermin dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardiani (Ardiani, 2017). Penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan penggunaan bahasa berdasarkan kelas sosial, profesi, dan usia. Penelitian serupa juga menunjukkan variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang bekerja sebagai sopir dan kondektur (Itaristanti, 2012).

Dalam era modern ini, keberadaan budaya subasita dalam interaksi sosial di Jawa menghadapi tantangan yang signifikan. Penting bagi masyarakat, terutama generasi muda, untuk memahami dan menghargai nilai-nilai budaya ini guna menjaga kekayaan warisan leluhur dan menjalin harmoni dalam komunikasi sosial.

Hasil Kajian Praktik Subashita

Berdasarkan hasil riset, ditemukan perbedaan dalam penggunaan bahasa oleh generasi muda dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks tingkat pendidikan di Kudus. Temuan ini sejalan dengan teori yang diajukan oleh Chaer dan Agustina, yang menyatakan bahwa variasi bahasa dapat dilihat dari kelompok sosial penuturnya yang disebut sosiolek.

Variasi bahasa sosiolek ini berkaitan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini mencakup faktor-faktor pribadi para penutur, seperti usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, status kebangsawanan, kondisi sosial ekonomi, dan lain sebagainya (Chaer & Agustina, 2010: 64). Namun, dalam penelitian ini, penekanan pada penanda kelas sosial terutama difokuskan pada tingkat pendidikan.

Dari hasil analisis, terlihat bahwa individu dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah cenderung menggunakan bahasa Jawa, sementara individu dengan tingkat pendidikan menengah ke atas cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, orang-orang dengan tingkat pendidikan menengah ke atas masih menggunakan bahasa Jawa dalam beberapa situasi, terutama ketika berinteraksi dengan orang tua kandung, kakak, atau adik.

Jurnal: Satiti, S. D. (2021). Penerapan Leksikon Krama Inggil oleh Generasi Muda Berdasarkan Tingkat Pendidikan sebagai Implementasi Subasita di Kudus. MIMESIS, 2(1), 17-31.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url