Watson dan eksperimen Albert: Manusia Mudah Dibentuk Melalui lingkungan Yang Tepat
Konsepsi Manusia dan Behaviorisme
Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Watson pernah sesumbar:“Give me a dozen healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up in and I'll guarant.ee to take anyone at random and train him to become any type 9f specialist I might select - doctor, lawyer, artist, merchant - chief and ( yes, even beggar-man and thief. regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race o#his ancestors. (J.B. Watson, 1934:104) Atau artinya (Berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap, dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka . Aku jamin, aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja, dan mendidiknya untuk menjadi tipe spesialis yang aku pilih - dokter, pengacara, seniman, saudagar, dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memperhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, dan ras orang tuanya).”
Ucapan ini dibuktikan Watson dengan satu eksperimen bersama Rosalie Rayner di John Hopkins; tujuannya menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Subyek eksperimennya adalah Albert B., bayi sehat berusia II bulan yang tinggal di rumah perawatan anak-anak invalid, karena ibunya menjadi perawat di situ. Albert menyayangi tikus putih. Sekarang takut ingin diciptakan. Ketika Albert menyentuh tikus itu, Lempengan baja dipukuL keras tepat di belakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur.
Proses ini diulangi: kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukuLan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras'. Akhirnya, kalau tikus itu muncul - walaupun tidak ada suara keras - Albert mulai menangis, membalik , dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut pada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin, tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah Perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui
Proses ini diulangi: kali ini Albert tersentak, tersungkur, dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian, ketika tikus diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara keras pukuLan baja. Rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras'. Akhirnya, kalau tikus itu muncul - walaupun tidak ada suara keras - Albert mulai menangis, membalik , dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak, ia bukan saja takut pada tikus, juga kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang malang sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, bila mungkin, tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah Perawatan, dan nasib Albert tidak diketahui
--=-
Eksperimen Albert! bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829 - 1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik ada!ah memasangkan stimuli yang netral atau stimulus terkondisi (tikus putih) dengan stimuli tertentu (yang tak terkondisikan - Unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response). Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan. respons terkondisikan. Dalam eksperimen di atas, tikus yang netra! berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan batangan baja (unconditioned stimulus).
Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa bila setiap kali anak membaca, orang tuanya mengambil buku dengan paksa, anak akan benci kepada buku. Bila munculnya anda selalu berbarengan dengan datangnya malapetaka, kehadiran anda kemudian akan mendebarkan orang.
--=-
'Skinner menambahkan jenis pelaziman yang lain. la menyebutnya operant conditioning. Kali ini subyeknya burung merpati. Skinner menyimpannya pada sebuah kotak (yang dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya~ Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil pada dinding kotak. Makanan keluar dan merpati bahagia. Mula-mula merpati itu tidak tahu hubungan antara tombol kecil pada dinding dengan datangnya makanan. sejenak kemudian, merpati tidak sengaja menyentuh tombol, dan makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati ingin makan, ia mendekati dinding dan menyentuh tombo!. Sikap manusia seperti itu pula. Bila setiap anak menyebut kata yang sopan, segera kita memujinya, anak itu kelak akan mencintai kata-kata sopan dalam komunikasinya.
Bila pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, mahasiswa meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Pujian dan buku dalam contoh tadi disebut penguat (reinforcer).
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Banyak perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme pelaziman atau peneguhan. Misalnya, mengapa anak yang berusia dua tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kaum Behavioris tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambang atau objek yang punya makna (pelaziman klasik). Menurut Skinner, mula-mula anak mengucapkan bunyi-bunyi yang tak bermakna. Kemudian orang tua secara selektif meneguhkan ucapan yang bermakna (misalnya. "mamah").
Dengan cara ini berangsur-angsur terbentuk bahasa anak yang memungkinkannya bicara. Menurut Bandura, dengan cara seperti ini penguasaan bahasa akan terbentuk bertahun-tahun , dan cara ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak-anak dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons orang lain, misalnya meniru bunyi yang sering didengar, adalah penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar, tetapi faktor yang penting dalam melakukan satu tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia dihukum (dicela), ia akan menahan diri untuk bicara walaupun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial\ untuk melakukan ditentukan oleh peniruan
Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme dapat menjelaskan seluruhnya. Behaviorisme bungkam ketika melihat perilaku manusia yang tidak dipengaruhi oleh ganjaran, hukuman, atau peniruan. Orang-orang yang menjelajahi Kutub Utara yang dingin, pemuda Jepang yang menempuh Samudra Pasifik di at as rakit, anak-anak muda 'Syi'ah yang menabrakkan truk berisi muatan dinamit, semuanya mengungkapkan perilaku yang "self-motivated". Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa·peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul\ sebagai reaksi pada psikologi "mentalistik" dari Wilhelm Wundt. Seratus tahun setelah Wundt membuka laboratorium psikologi eksperimental yang pertama, paradigma baru menyerang psikologi "behavioristik", dan menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigma baru ini kemudian terkenal sebagai psikologi kognitif.
Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif
Ketika asumsi-asumsi Behaviorisme diserang habis-habisan pada akhir tahun 6O-an dan awal tahun 70an, psikologi sosial bergerak ke arab paradigma baru. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan, tetapi sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya: makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens). Pikiran yang dimaksudkan behaviorisme sekarang didudukkan lagi di atas tahta.
"Pengaruh seseorang pada yang lain kebanyakan ditimbulkan oleh pikiran. Kita Mengkomunikasikan pikiran. Bagaimana hal ini terjadi? Kita timbulkan perubahan di dunia luar yang sarna. Perubahan-perubahan ini, setelah dipersepsi orang lain, akan mendorong kita untuk memahami suatu pikiran dan menerimanya sebagai hal yang benar. Mungkinkah terjadi peristiwa besar dalam sejarah tanpa komunikasi pikiran? Anehnya kita cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata' karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa, sementara berpikir, memutuskan, menyatakan, memahami dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia. Mana yang lebih nyata, sebuah palu atau pikiran? Alangkah bedanya proses penyerahan palu dengan komunikasi pikiran. "
Frege menulis hal di atas dalam sebuah buku filsafat berpikir (Philosophical Logic), mengisyaratkan kelebihan rasionalisme pada empirisme . Psikologi kognitif memang dapat diawali pada rasionalisme Immanuel Kant (1724--1804), René Descartes (1596-1650), bahkan sampai ke Plato.
Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan kita, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Kemampuan alat indera kita dipertanyakan karena seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rei kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana; bukankah telinga Anda baru mendengar detak jam dinding pada saat memperhatikannya, padahal jam itu tetap berdetak ketika Anda membisikkan kata cinta pada telinga kekasih Anda?
Descartes, juga Kant, menyimpulkan bahwa jiwalah (mind) yang menjadi alat utarna pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima. "Seorang ibu yang tidur di samping bayinya tidak mendengar suara yang riuh rendah di sekitarnya; tetapi begitu si kecil bergerak, ibu bangun dengan segera seperti penyelam yang tergesa-gesa muncul di permukaan air laut. Tetapkanlah tujuannya pertambahan, dan stimuli "dua dan tiga" menimbulkan respons "lima". Tetapkan tujuannya perkalian, dan stimuli yang sarna, sensasi auditif yang sama, "dua dan tiga" melahirkan respons "enam" .... Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kalau kita butuhkan. Ada luan yang menyelelcsi dan mengarahkan," begitu tulis Will Durant (1933:203) menyimpulkan lulisan Kar t lentang Estetika Transendental dalam Kritik der Reinen Vermunft.
Rasionalisme ini tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalisis, adalah orang-orang Jerman: Meinong, Ehrenfels, Köhler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respon kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu "pola" stimuli secara keseluruhan dalam satuan satuan yang bermakna. Pola ini disebut Gestalt Huruf "I" akan dianggap sebagai angka salu dalam rangkaian "I, 2, 3," telapi menjadi huruf "el" dalam rangkaian "k, I, m, n," alau huruf "i" dalam "Indonesia". Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Di kalangan i1mu komunikasi terkenal proposisi "Words don't mean, people mean" - kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. Bunyi "wi" berarti "kita" menurut ·orang Inggris, "siapa" menurut Belanda, "bagaimana" menurut Jerman, "duhai" menurut Arab, atau hanya sekadar panggilan sayang bagi gadis Sunda bernama Wiwi.
Mula-mula psikologi Gestalt hanya menaruh perhatian pada persepsi objek. Beberapa orang menerapkan prinsip-prinsip Gestalt dalam menjelaskan perilaku sosia!. Di antara mereka adalah Kurt Lewin, Solomon Asch, dan Fritz Heider.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat lerlentu. Perilaku manusia bukan 'sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ruan .. hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Dari Lewin terkenal rumus: B = f (P, E), artinya Behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara person (diri orang itu) dengan environment (lingkungan psikologisnya).
Lewin juga berjasa dalam menganalisa kelompok . Dari Lewin lahir konsep dinamika kelompok. Dalam kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lain. Kelompok memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki individu. Solomon Asch memperluas penelitian kelompok dengan melihat pengaruh penilaian kelompok (group judgements) pada pembentukan kesan (impression formation). Dengan beberapa eksperimen, Asch menunjukkan kecenderungan orang untuk mengikuti pendapat kelompoknya.
Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang menunjukkan suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi.. Konsep tension melahirkan banyak teori yang digabung dengan istilah teori (konsistensi kognitif.) Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa individu berusaha mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan pengalamannya.
Bila makna tidak optimal, timbul tension yang memotivasi orang untuk menguranginya. Fritz Heider, Leon Festinger, Abelson adalah tokoh-tokoh ini. Kita akan membicarakannya lebih lanjut dalam sistem komunikasi intrapersonal, sebab disinilah psikologi kognitif banyak berbicara. Heider dan Festinger membawa psikologi kognitif ke dalam psikologi sosial. Secara singkat kita akan melihat perkembangan pengaruh psikologi kognitif ini dalam psikologi sosial, terutama untuk menggambarkan perkembangan konsepsi manusia dalam mazhab ini.